Iran Perluas Pengaruh di Afrika: Burkina Faso Jadi Pintu Masuk


Burkina Faso kini menjadi ladang ekspansi baru bagi Iran di kawasan Afrika Barat, seiring junta militer yang berkuasa di negara itu makin bergantung pada dukungan eksternal untuk mempertahankan kekuasaannya. Setelah upaya kudeta terhadap Presiden Ibrahim Traoré berhasil digagalkan pada April 2025, junta mulai menjajaki hubungan lebih erat dengan negara-negara di luar aliansi tradisional mereka, termasuk Iran dan Chad. Langkah ini menandai keterbatasan kapasitas dari Aliansi Negara-Negara Sahel (AES) serta dukungan utama mereka selama ini: Rusia.

Pascagagalnya kudeta tersebut, pemerintah Burkina Faso mengungkap bahwa sejumlah pelaku berasal dari elemen elite keamanan dalam negeri, termasuk dari Pasukan Perlindungan Presiden dan Batalyon Intervensi Cepat (BIR) yang sebelumnya menjadi tulang punggung keamanan Traoré. Bahkan beberapa di antaranya disebut berafiliasi dengan oposisi di pengasingan yang berbasis di Pantai Gading. Traoré, yang naik ke tampuk kekuasaan lewat kudeta pada 2022, telah berulang kali menjadi target rumor kudeta dalam dua tahun terakhir.

Untuk mengatasi situasi ini, Traoré memperluas jaringan keamanan luar negeri. Ia dilaporkan meminta Chad mengirim 200 tentara guna memperkuat barisan pasukannya. Tak hanya itu, pada awal Mei 2025, komandan kepolisian Iran melakukan kunjungan resmi ke Burkina Faso dalam rangkaian tur ke beberapa negara Afrika. Tujuan utamanya: berbagi "keahlian keamanan", istilah yang dalam konteks ini mengindikasikan pelatihan teknis dalam pengendalian kerusuhan dan intelijen domestik.

Iran bukan satu-satunya negara yang menancapkan pengaruh. Sekitar 100 personel Russian Africa Corps sudah lama berada di Burkina Faso, fokus melatih satuan elite pengawal presiden. Selain itu, operasi informasi yang digawangi Rusia turut memperkuat citra Traoré sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi Barat, khususnya Prancis, yang pamornya makin meredup di kawasan ini.

Namun yang menarik adalah keputusan Traoré untuk mulai menggandeng mitra baru seperti Iran dan Chad, alih-alih bertumpu hanya pada AES atau Rusia. Keputusan ini muncul setelah kurangnya dukungan langsung dari AES pascaupaya kudeta terakhir. Pada upaya kudeta sebelumnya tahun 2024, Mali dan Niger sempat menjanjikan dukungan penuh, namun kali ini tidak ada penguatan nyata dari kedua sekutu regional itu.

Kerja sama antara Iran dan Rusia dalam transfer teknologi represi menjadi poin penting dalam strategi bertahan Traoré. Dua negara ini diketahui kerap bertukar peralatan anti-huru-hara, perangkat pengenal wajah, alat penyadapan, hingga sistem sensor internet yang sudah terbukti menekan gerakan oposisi di negara asal mereka. Burkina Faso tampaknya siap menjadi laboratorium baru penerapan teknologi ini di Afrika.

Kehadiran Iran di Burkina Faso membuka babak baru bagi strategi ekspansi Teheran di Afrika. Selama ini, Iran cenderung berfokus pada kawasan Timur dan Afrika Timur seperti Sudan dan Eritrea. Kini, melalui pintu masuk Burkina Faso, Iran berpeluang memperluas jejaringnya ke Afrika Barat—kawasan yang selama ini menjadi medan pengaruh utama negara-negara Barat dan bekas koloninya.

Di sisi lain, Chad pun menunjukkan kecenderungan untuk merapat ke kubu Rusia-Iran. Setelah membatalkan perjanjian pertahanan dengan Prancis pada akhir 2024 dan menarik pasukan Prancis pada awal 2025, Chad makin intens berdialog dengan negara-negara AES. Bahkan, partisipasinya dalam latihan militer gabungan bersama Mali, Burkina Faso, dan Niger pada 2024 disebut-sebut sebagai sinyal ketertarikan untuk bergabung secara resmi ke AES.

Pergeseran geopolitik ini membuat kawasan Sahel menjadi ajang perebutan pengaruh baru. Jika sebelumnya Prancis dan negara-negara Barat menjadi pemain dominan, kini Rusia dan Iran menonjol sebagai alternatif keamanan bagi rezim-rezim militer yang rentan di kawasan tersebut. Traoré dan junta lainnya tampaknya melihat nilai strategis dari aliansi dengan kekuatan yang tak terikat pada agenda HAM atau demokrasi.

Langkah Iran ini tidak hanya sekadar simbolik. Dengan mengirimkan perwakilan tingkat tinggi dan menawarkan keahlian teknis, Teheran berupaya menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi mitra keamanan yang setara dengan Rusia, bahkan mungkin melampaui kapasitas dukungan Rusia yang mulai tampak terbatas akibat komitmen besar mereka di Ukraina.

Meski Chad menyatakan ingin menyeimbangkan hubungan antara Barat dan blok baru ini, keputusan-keputusan politik dan militer yang mereka ambil menunjukkan kecenderungan untuk menjauh dari orbit tradisional Prancis. Posisi Chad sebagai pemain kunci dalam transisi ini akan menentukan seberapa jauh pengaruh Iran dan Rusia bisa bertahan dan berkembang di Afrika Barat.

Dalam konteks yang lebih luas, kehadiran Iran di Burkina Faso berpotensi menginspirasi pola kerja sama baru antara negara-negara otoriter yang merasa ditinggalkan oleh aliansi-aliansi tradisional. Afrika yang dulu menjadi panggung perebutan pengaruh antara Barat dan Timur, kini sedang memasuki babak baru di mana aktor-aktor non-tradisional seperti Iran mulai memainkan peran utama.

Traoré sendiri tampaknya tidak keberatan mengadopsi strategi keamanan gaya Teheran yang menitikberatkan pada pengawasan dan represi. Dalam iklim politik yang penuh ketidakpastian, apa pun yang bisa menjaga rezimnya dari jatuh tampaknya dianggap layak diterima, tanpa mempedulikan konsekuensi jangka panjang bagi kebebasan sipil rakyat Burkina Faso.

Dalam beberapa bulan ke depan, arah hubungan antara Iran, Rusia, dan junta-junta Afrika Barat akan menjadi indikator penting bagi pergeseran geopolitik global. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Burkina Faso akan menjadi pusat pelatihan teknik represif ala Iran di seluruh kawasan Sahel.

Dengan begitu, Burkina Faso bukan lagi sekadar negara kecil yang bergulat dengan ketidakstabilan internal. Ia telah menjadi arena besar bagi ekspansi pengaruh Iran—sebuah kebangkitan baru dari kekuatan Timur di jantung Afrika yang selama ini dikenal sebagai halaman belakang Prancis.

إرسال تعليق