Riwayat Sultan Iskandar Muda, raja besar dari Kesultanan Aceh Darussalam, ternyata tidak hanya terpatri dalam naskah-naskah sejarah resmi Aceh, tetapi juga menyebar dalam berbagai tarombo atau silsilah Batak dan Mandailing. Salah satu yang menarik perhatian adalah tarombo Nasution versi Rambah Rokan, yang menempatkan Sultan Iskandar Muda sebagai leluhur marga Nasution melalui figur Sibaroar.
Kisah ini menunjukkan bagaimana nama besar Iskandar Muda tidak berhenti pada wilayah pesisir Aceh, melainkan menembus hingga pedalaman Sumatera Utara. Dalam tarombo tersebut disebutkan bahwa Sultan Iskandar, yang dalam beberapa penafsiran dianggap identik dengan Iskandar Zulkarnaen, menikah dengan seorang perempuan bangsawan di kawasan Toba. Perkawinan itu kemudian melahirkan garis keturunan yang diyakini menjadi asal mula beberapa raja Mandailing.
Namun, versi lain dari tarombo justru mengaitkan Iskandar Muda dengan Barus. Menurut kisah yang beredar di daerah pesisir, sebelum diangkat menjadi Sultan Aceh, Iskandar Muda menikah di Sorkam dengan seorang perempuan bangsawan setempat. Cerita ini memperlihatkan kuatnya jejak hubungan pernikahan politik yang dilakukan Iskandar Muda di berbagai wilayah Sumatera.
Dalam tradisi Aceh sendiri, nama istri Iskandar Muda sering dikaitkan dengan putri Daeng Mansur. Menariknya, dalam salah satu tarombo Batak juga disebutkan adanya sosok Boru Mansur Purnama sebagai istri sang Sultan. Kesamaan nama ini menunjukkan bahwa kisah pernikahan tersebut memiliki resonansi lintas budaya, meski dengan detail yang berbeda.
Tarombo Rambah Rokan menguatkan lagi kisah ini dengan menyebut adanya pernikahan Sultan Iskandar dengan seorang tokoh perempuan yang bergelar Sutan Parampuan di wilayah Toba. Dari pernikahan itu, silsilah keturunan kemudian menurunkan tokoh-tokoh yang diakui sebagai bagian dari raja-raja Mandailing.
Dalam naskah Tarombo Raja Mandailing Godang dan Batang Natal, yang disimpan di Arsip Universitas Leiden, jelas digambarkan bahwa tokoh Iskandar Zulkarnain—dalam penafsiran setempat sering dikaitkan dengan Iskandar Muda—datang hingga ke Toba, menikah dengan putri bangsawan, dan menghasilkan keturunan yang kemudian menjadi raja. Hal ini menjadi dasar legitimasi bahwa raja-raja Mandailing memiliki hubungan darah dengan tokoh besar Islam.
Dari Toba, perjalanan Iskandar kemudian disebut berlanjut menyusuri pantai barat Sumatera hingga Batang Gadis dan masuk ke pedalaman Mandailing. Di sinilah ia bertemu dengan pemimpin lokal yang kemudian menjalin ikatan persekutuan maupun pernikahan. Kisah ini memberi warna historis pada narasi asal-usul penguasa Mandailing.
Di Batang Natal, tarombo menegaskan adanya figur Sutan Sangga Buana yang dianggap keturunan langsung Iskandar. Dari garis inilah muncul para raja Mandailing Godang, yang kemudian memimpin kampung-kampung besar di Tabagsel. Tarombo ini dengan demikian tidak hanya berfungsi sebagai catatan silsilah, melainkan juga sebagai legitimasi politik.
Hubungan kekerabatan antarbangsawan Mandailing dan penguasa lain di Sumatera juga tampak dalam kisah ini. Tarombo menyebut adanya persekutuan, pernikahan, dan konflik kecil dengan raja-raja di Padang Garugur, Gonting, Kota Siantar, hingga Padang Bolak. Dari sana terbentuk peta kekuasaan baru yang dipengaruhi garis keturunan Iskandar.
Lebih jauh, tarombo juga menjelaskan bahwa pengangkatan seorang raja di Mandailing tidak bisa dilakukan sepihak. Seorang raja harus disahkan melalui musyawarah para penghulu dan pemuka adat, dengan prosesi tertentu. Hal ini memperlihatkan adanya tata kelola pemerintahan tradisional yang berimbang antara garis keturunan dan konsensus adat.
Peran Iskandar Muda dalam narasi tarombo bukan semata tokoh perantau atau penakluk, tetapi juga diposisikan sebagai figur penyebar legitimasi Islam. Dengan mengaitkan asal-usul raja Mandailing kepada Iskandar, tarombo menempatkan mereka dalam garis keturunan yang sah secara agama dan adat.
Keberadaan nama Iskandar Muda dalam berbagai tarombo, baik di Mandailing, Toba, Barus, maupun Aceh, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh simbolis sang Sultan. Bahkan jika detailnya berbeda-beda, figur ini tetap dipandang sebagai pusat gravitasi silsilah bangsawan Sumatera.
Dalam kajian sejarah, hal ini memperlihatkan bahwa nama Iskandar Muda tidak hanya hidup dalam catatan resmi Kesultanan Aceh, tetapi juga dalam imajinasi kolektif berbagai etnis. Sosoknya bertransformasi menjadi bagian dari mitos silsilah yang memberi legitimasi pada banyak kelompok lokal.
Kisah pernikahan Iskandar Muda di Sorkam, Toba, atau Mandailing, meski sulit diverifikasi secara faktual, memiliki nilai penting dalam memperlihatkan dinamika sosial politik di Sumatera. Pernikahan semacam itu bisa dipahami sebagai strategi mengikat loyalitas sekaligus memperluas pengaruh Aceh hingga pedalaman.
Tidak mengherankan jika banyak tarombo Batak memasukkan nama Iskandar, karena hal ini memberikan prestise bagi kelompok yang bersangkutan. Dengan menyatakan bahwa mereka keturunan Iskandar, para raja lokal bisa mengklaim hubungan dengan pusat kekuasaan Islam terbesar di Sumatera.
Namun demikian, perbedaan versi juga menunjukkan adanya proses lokal dalam membangun narasi sejarah. Masing-masing daerah memiliki penekanan yang berbeda: Aceh pada garis Daeng Mansur, Barus pada Sorkam, Toba pada Sutan Parampuan, dan Mandailing pada Sibaroar. Semua ini menandakan betapa luasnya jaringan pengaruh yang dikaitkan dengan sosok Iskandar.
Sejarawan menilai bahwa kisah-kisah tarombo ini bukan hanya sejarah literal, tetapi juga sejarah simbolik. Tujuannya adalah memberi kerangka identitas kolektif yang menghubungkan komunitas lokal dengan tokoh besar dunia Islam. Dengan begitu, Iskandar Muda berfungsi sebagai ikon lintas etnis dan lintas generasi.
Hingga kini, naskah tarombo yang ditemukan di Leiden tetap menjadi sumber penting untuk meneliti asal-usul raja Mandailing. Meski bercampur antara mitos dan fakta, naskah tersebut memperlihatkan satu hal yang pasti: nama Iskandar Muda hidup di berbagai lapisan masyarakat Sumatera.
Dengan demikian, riwayat Iskandar Muda di Mandailing bukan hanya kisah perantauan seorang raja Aceh, melainkan juga bagian dari konstruksi sejarah lokal yang membangun identitas Mandailing. Dari Aceh hingga Toba, dari Sorkam hingga Batang Natal, namanya tetap dikenang sebagai leluhur yang memberi legitimasi.
Pada akhirnya, sulit memastikan versi mana yang paling akurat. Tetapi yang jelas, tarombo-tarombo tersebut menjadi bukti bahwa Sultan Iskandar Muda adalah figur yang dihormati di seluruh Sumatera, tidak hanya sebagai raja besar Aceh, tetapi juga sebagai leluhur simbolis bagi banyak marga dan kerajaan lokal.